News

Menulis Kritis sebagai Perlawanan Sunyi: Catatan dari “Project Demokrasi Warga” Bersama Wongkite dan RUSH

Wongkite.com, Serang Banten – Di tengah arus informasi yang kian deras dan kebebasan berpendapat yang terus diuji, sekelompok warga memutuskan untuk mengambil jeda—bukan untuk diam, tetapi untuk menulis. Dalam sebuah kegiatan bertajuk Project Demokrasi Warga, komunitas Wongkite bersama lingkaR stUdi maSyarakat dan Hukum (RUSH) dan Yayasan Masyarakat Belajar Banten menggelar ruang belajar yang tak sekadar berbicara tentang kata, tetapi tentang kuasa, hak, dan keberanian bersuara.

Diselenggarakan pada pekan lalu di sebuah ruang komunitas, kegiatan ini mengundang beragam tokoh yang selama ini bersentuhan langsung dengan dunia literasi, pendidikan, dan jurnalisme. Acara ini tak hanya mengundang individu, tetapi juga menggalang kekuatan kolektif dari berbagai organisasi sipil yang selama ini aktif menjaga nalar kritis di akar rumput.

Bahasa, Hak, dan Jurnalisme: Tiga Pilar Menulis Kritis

Arip Senjaya, seorang ahli bahasa yang juga dikenal sebagai pelatih menulis serta praktisi, membuka sesi dengan pertanyaan sederhana namun tajam: “Apakah kita menulis untuk dipahami atau sekadar terdengar pintar?” Dalam paparannya, Arip menekankan pentingnya praktik menulis sebagai alat keberdayaan, bukan sekadar keterampilan akademik. “Menulis adalah bentuk kehadiran. Bila kita tidak hadir dalam narasi, maka yang muncul hanyalah versi dari penguasa,” ujarnya lugas.

Dinar Sugiyana, dosen sekaligus Ketua Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), memantik diskusi lebih dalam soal relasi antara hak warga negara dan kebebasan menyatakan pendapat. “Kita sering lupa bahwa suara warga adalah pilar demokrasi. Dan menulis adalah cara merawat suara itu dalam bentuk yang tak bisa disangkal,” ungkapnya, seraya menyinggung lemahnya literasi demokrasi di kalangan generasi muda.

Sesi paling reflektif datang dari Kang Iman R, jurnalis senior dari LMN (Lingkar Media Network), yang mengajak peserta merenungi peran teoritisi menulis dalam membentuk kesadaran kolektif. “Teori tak pernah cukup. Tapi tanpa teori, kita hanya akan menulis dari rasa marah tanpa arah,” ujarnya. Ia juga mengulas sejarah jurnalisme sebagai bentuk perlawanan di masa otoritarianisme, dan bagaimana praktik itu masih relevan hari ini.

Koalisi Sipil: Dari Masyarakat Desa menuju Peradaban Moderen

Yang menarik dari kegiatan ini adalah siapa yang duduk di barisan peserta. Ada aktivis lingkungan dari Trash Ranger, pegiat urban dari Paguyuban Pasar Rau, komunitas kampanye aksi Banten Take Action, penggerak seni dan budaya dari Distrik Berisik Banten, hingga aktivis LSM seperti Gerakan Kawan dan Karat. Mereka semua hadir bukan hanya sebagai tamu, tetapi sebagai bagian dari naskah besar: warga yang sedang menulis kembali peran mereka dalam demokrasi.

Beberapa mahasiswa dari berbagai kampus di Banten juga turut hadir, menunjukkan bahwa semangat literasi kritis tak pernah padam meski dijejali tuntutan tugas dan algoritma media sosial.

RUSH dan Rencana 23 Chapter: Sebuah Gerakan Terstruktur

RUSH, sebagai penyelenggara utama, menyampaikan bahwa Project Demokrasi Warga ini baru permulaan dari rencana besar: 23 chapter pelatihan menulis kritis yang akan digelar di berbagai titik komunitas. “Kami melihat ada kebutuhan mendesak untuk mengembalikan praktik menulis ke tangan rakyat. Ini bukan sekadar pelatihan, ini bentuk konsolidasi sipil,” kata Bef Abda Pala Wijaya selaku Ketua RUSH.

Dengan konsep belajar horizontal, diskusi partisipatif, dan metode penulisan berbasis pengalaman warga, kegiatan ini diharapkan melahirkan penulis-penulis baru yang tak hanya piawai merangkai kata, tetapi juga menggerakkan perubahan.

Akhir Kata: Saat Warga Menulis, Demokrasi Bernapas Kembali

Project Demokrasi Warga adalah pengingat bahwa demokrasi tak dibangun dari bilik parlemen saja. Ia hidup di ruang-ruang kecil seperti ini: saat warga biasa belajar menulis tentang hal-hal yang luar biasa—ketidakadilan, hak yang direbut, atau mimpi tentang hidup yang lebih setara.

Di tangan para warga yang kini mulai menulis, demokrasi menemukan napasnya kembali.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *