Pengakuan yang Terekam: Ketika Klarifikasi Menjadi Barang Bukti
Sekolah. Tempat yang katanya menjadi ruang aman, tempat kami menuntut ilmu, bertumbuh, dan dilindungi dari segala bentuk kekerasan. Tapi bagaimana jika justru dari sanalah luka itu bermula?
Seorang siswi bernama NF, kelas 12 SMAN 14 Kabupaten Tangerang, mengalami kejadian yang membuat kita semua bertanya ulang: masih amankah sekolah bagi anak-anak?
Kronologi Luka yang Tak Terlihat
Peristiwa itu terjadi tanpa persetujuan orang tua. Tanpa pendampingan psikolog. Dan bahkan tanpa proses hukum yang semestinya. NF dibawa ke sebuah ruang khusus dan diminta buang air kecil untuk melakukan tes kehamilan, oleh gurunya sendiri.
Menurut penelusuran dari Sidik Polisi News, tekanan terhadap NF telah terjadi sejak tahun 2024, ketika ia masih duduk di bangku kelas 11. Beberapa guru mencurigainya telah melakukan hubungan di luar nikah. Tanpa bukti, tanpa proses hukum, bahkan tanpa asas praduga tak bersalah, kecurigaan itu perlahan berubah menjadi keyakinan yang membabi buta.
Puncaknya terjadi pada 25 Agustus 2025. NF dipanggil oleh beberapa guru dan diminta melakukan tes kehamilan menggunakan test pack di lingkungan sekolah. Tidak ada surat resmi. Tidak ada tenaga medis. Tidak ada pendampingan dari wali murid. Tidak ada psikolog. Hanya ada dugaan yang dipaksa menjadi fakta.
Kekuasaan Simbolik di Balik Dinding Sekolah
Apa yang sebenarnya terjadi di balik dinding ruang kelas itu?
Menurut Pierre Bourdieu, seorang sosiolog asal Prancis, kekuasaan simbolik adalah bentuk dominasi yang dilakukan bukan melalui kekerasan fisik, tetapi melalui simbol, bahasa, dan posisi sosial. Orang-orang yang didominasi bahkan bisa merasa bersalah atas ketidakadilan yang menimpa mereka.
Dalam konteks kasus NF, guru—sebagai figur otoritas di ruang kelas—memanfaatkan posisinya untuk melakukan tindakan yang tidak sesuai hukum dan etika. NF tidak melawan. Karena sejak awal, relasi kuasa memang tidak setara. Guru adalah penguasa, siswa hanya bisa patuh.
“Ini jelas bentuk kekuasaan simbolik dalam dunia pendidikan. Ketika institusi memaksakan nilai moral tanpa prosedur, tanpa perlindungan hukum, dan tanpa memperhitungkan dampak psikologis,” ujar Arip Senjaya, seorang sastrawan serta pengamat pendidikan, upaya perdamaian dalam situasi seperti ini bukan bentuk penyelesaian, tetapi justru bisa dikategorikan sebagai bentuk kekerasan simbolik. Kalau memakai pandangan Bourdieu Tindakan permintaan maaf itu merupakan upaya pemulihan modal simbolik karena sekolah tidak ingin reputasi moralnya dihancurkan. Meminta maaf sangat perlu, dan korban juga harus memaafkan karena itu bagian dari kebudayaan, tetapi tidak menyelesaikan masalah pelecehan seksualnya – masalah ini harus ditindak lanjuti secara hukum yang berlaku. Jika pemerintah membiarkan, semua pihak termasuk pemerintah banten tidak peduli terhadap hak asasi manusia. Sejauh ini saya tidak melihat bahwa pemerintah banten yang dalam hal ini dinas Pendidikan provinsi banten bertidak tegas dan menyikapi kasus ini.
Moralitas yang Terbalik
Sekolah yang seharusnya melindungi siswanya dari stigma, justru menghakimi terlebih dahulu, bahkan sebelum hukum bicara. Mereka memaksakan nilai moral mereka sendiri dan bertindak sebagai hakim.
Padahal, menurut Etika Profesi Pendidik, guru memiliki tanggung jawab untuk:
Menghormati privasi dan martabat siswa,
Tidak melakukan diskriminasi berbasis asumsi pribadi,
Bertindak sesuai prosedur dan aturan yang berlaku.
“Tes kehamilan itu bukan tindakan pendidikan. Itu intervensi terhadap hak reproduksi tubuh anak yang seharusnya dilindungi,” ujar Hudjolly, S.HI., M.Phill., PhD., CLA., CCFA., seorang ahli hukum pidana lulusan Universitas Gadjah Mada. Menurutnya, tindakan tersebut merupakan pelanggaran etika tubuh dan kehormatan, yang efek traumatisnya bisa jauh lebih dalam dari kekerasan fisik.
Klarifikasi yang Justru Menguatkan Dugaan
Isu ini menjadi viral setelah media online memuat berita pertama pada 2 September 2025. Sekolah akhirnya bereaksi, bukan karena kesadaran moral, melainkan karena tekanan publik yang tak bisa dibendung.
Pada 6 September 2025, sekolah merilis video klarifikasi berdurasi 3 menit melalui kanal YouTube jurnalis lokal Zakky Adnan. Dalam video tersebut, perwakilan guru menyampaikan permintaan maaf:
“Kami menyadari persoalan tersebut sudah melukai banyak orang, terutama siswa atas nama NF… memohon maaf sebesar-besarnya atas kelalaian dan kekhilafan kami yang tidak sesuai prosedur.”
Namun pernyataan itu justru mengundang pertanyaan: Jika tidak terjadi apa-apa, kenapa harus minta maaf? Jika sudah sesuai prosedur, mengapa menyebutnya “kelalaian dan kekhilafan”?
Hudjolly menanggapi video tersebut:
“Video ini bisa menjadi alat bukti digital. Pengakuan adalah bagian dari fakta hukum. Jika terbukti ada pemaksaan, maka dapat dikenakan pasal tentang pelanggaran perlindungan anak, atau bahkan kekerasan psikis.”
Perdamaian atau Penekanan?
Setelah berita viral, guru-guru mendatangi rumah NF dengan membawa draf berita acara perdamaian, agar kasus ini tidak dibawa ke ranah hukum dan tidak menjadi lebih besar.
Tapi, seperti yang dikatakan Bourdieu, perdamaian tanpa posisi yang setara hanyalah bentuk dominasi baru. Ketika pihak berkuasa menawarkan perdamaian, dan korban hanya bisa menerimanya tanpa pendampingan hukum atau perwakilan independen, itu bukan mediasi—itu subordinasi.
“Kalau memang niatnya menyelesaikan dengan adil, mestinya melibatkan lembaga independen,” tegasnya.
Tuntutan Keadilan dan Ketegasan Aparat Negara
Sejumlah alumni dan relawan menyatakan keprihatinan mereka. Meski ada upaya pembungkaman oleh salah satu guru melalui media sosial, mereka tetap menyuarakan dukungan untuk NF.
Atif Natadisastra, Direktur Yayasan Masyarakat Belajar, menyayangkan tindakan sekolah yang dianggap tidak hanya lalai secara prosedur hukum, tapi juga gagal menjaga etika profesi kependidikan.
“Tes kehamilan terhadap siswa adalah ranah medis dan harus dengan izin orang tua serta pihak berwenang. Ini bukan soal moralitas, ini soal hukum dan HAM. Kalau siswa itu anak kepala sekolah, apakah akan diperlakukan sama?”
Atif juga menyebut bahwa akan ada audit etik terhadap kepala sekolah dan guru-guru yang terlibat. Sayangnya, hingga kini, Dinas Pendidikan Banten belum mengeluarkan pernyataan resmi, meskipun kepala dinas telah mengetahui kejadian tersebut.
Kesimpulan: Pendidikan yang Menyakiti
Kasus NF menjadi cermin betapa sekolah bisa berubah dari ruang aman menjadi ruang luka. Ketika nilai moral digunakan untuk menghakimi, bukan membimbing, maka pendidikan telah kehilangan jiwanya.
Guru adalah pendidik, bukan penyelidik.
Sekolah adalah tempat belajar, bukan tempat interogasi.
Kini, kasus ini telah berubah—dari sekadar persoalan internal sekolah menjadi simbol gagalnya sistem perlindungan anak di institusi pendidikan negeri. Dan video yang awalnya dimaksudkan untuk meredam, kini justru menjadi bukti yang menguatkan bahwa pendidikan kita sedang tidak baik-baik saja.

